Sebelum era Sunan Gunung Jati berdakwah di Jawa Barat. Ada seorang
ulama besar dari Bagdad telah datang di daerah Cirebon bersama duapuluh
dua orang muridnya. Ulama besar itu bernama Syekh Kahfi. Ulama inilah
yang lebih dahulu menyiarkan agama Islam di sekitar daerah Cirebon.
Al-Kisah, putra Prabu Siliwangi dari Pajajaran bernama Pangeran
Walangsungsang dan adiknya Rara Santang pada suatu malam mendapat mimpi
yang sama. Mimpi itu terulang hingga tiga kali yaitu bertemu dengan
Nabi Muhammad yang mengajarkan agama Islam.
Wajah Nabi Muhammad yang agung dan caranya menerangkan Islam demikian
mempersona membuat kedua anak muda itu merasa rindu. Tapi mimpi itu
hanya terjadi tiga kali.
Seperti orang kehausan, kedua anak muda itu mereguk air lebih banyak
lagi, air yang akan menyejukkan jiwanya itu agama Islam. Kebetulan
mereka telah mendengar adanya Syekh Dzatul Kahfi atau lebih muda
disebut Syekh Datuk Kahfi yang membuka perguruan Islam di Cirebon.
Mereka mengutarakan maksudnya kepada Prabu Siliwangi untuk berguru
kepada Syekh Datuk Kahfi, mereka ingin memperdalam agama Islam seperti
ajaran Nabi Muhammad SAW. Tapi keinginan mereka ditolak oleh Prabu
Siliwangi.
Pangeran Walangsungsang dan adiknya nekad, keduanya melarikan diri dari
istana dan pergi berguru kepada Syekh Datuk Kahfi di Gunung Jati.
Setelah berguru beberapa lama di Gunung Jati, Pangeran Walangsungsang
diperintahkan oleh Syekh Datuk Kahfi untuk membuka hutan di bagian
selatan Gunung Jati. Pangeran Walangsungsang adalah seorang pemuda
sakti, tugas itu diselesaikannya hanya dalam beberapa hari. Daerah itu
dijadikan pendukuhan yang makin hari banyak orang berdatangan menetap
dan menjadi pengikut Pangeran Walangsungsang. Setelah daerah itu ramai
Pangeran Walangsungsang diangkat sebagai kepala Dukuh dengan gelar
Cakrabuana. Daerahnya dinamakan Tegal Alang-alang.
Orang yang menetap di Tegal Alang-alang terdiri dari berbagai rasa atau
keturunan, banyak pula pedagang asing yang menjadi penduduk tersebut,
sehingga terjadilah pembauran dari berbagai ras dan pencampuran itu
dalam bahasa Sunda disebut Caruban. Maka Legal Alang-alang disebut
Caruban.
Sebagian besar rakyat Caruban mata pencariannya adalah mencari udang kemudian dibuatnya menjadi petis yang terkenal.
Dalam bahasa Sunda Petis dari air udang itu, Cai Rebon. Daerah
Carubanpun kemudian lebih dikenal sebagai Cirebon hingga sekarang ini.
Setelah dianggap memenuhi syarat, Pangeran Cakrabuana dan Rarasantang
di perintah Datuk Kahfi untuk melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci.
Di Kota Suci Mekkah, kedua kakak beradik itu tinggal di rumah seorang
ulama besar bernama Syekh Bayanillah sambil menambah pengetahuan agama.
Sewaktu mengerjakan tawaf mengelilingi Ka’bah kedua kakak beradik itu
bertemu dengan seorang Raja Mesir bernama Sultan Syarif Abdullah yang
sama-sama menjalani Ibadah haji. Raja Mesir itu tertarik pada wajah
Rarasantang yang mirip mendiang istrinya.
Sesudah ibadah haji diselesaikan Raja Mesir itu melamar Rarasantang
pada Syekh Bayanillah. Rarasantang dan Pangeran Cakrabuana tidak
keberatan. Maka dilangsungkanlah pernikahan dengan cara Mazhab Syafi’i.
Nama Rarasantang kemudian diganti dengan Syarifah Mudaim. Dari
perkawinan itu lahirlah Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah.
Pangeran Cakrabuana sempat tinggal di Mesir selama tiga tahun. Kemudian
pulang ke Jawa dan mendirikan Negeri Caruban Larang. Negeri Caruban
Larang adalah perluasan dari daerah Caruban atau Cirebon, pola
pemerintahannya menggunakan azas Islami. Istana negeri itu dinamakan
sesuai dengan putri Pangeran Cakrabuana yaitu Pakungwati.
Dalam waktu singkat Negeri Caruban Larang telah terkenal ke seluruh
Tanah Jawa, terdengar pula oleh Prabu Siliwangi selaku penguasa daerah
Jawa Barat. Setelah mengetahui negeri baru tersebut dipimpin putranya
sendiri, maka sang Raja tidak keberatan walau hatinya kurang berkenan.
Sang Prabu akhirnya juga merestui tampuk pemerintahan putranya, bahkan
sang Prabu memberinya gelar Sri Manggana.
Sementara itu dalam usia muda Syarif Hidayatullah ditinggal mati oleh
ayahnya. Ia ditunjuk untuk menggantikan kedudukannya sebagai Raja
Mesir, tapi anak muda yang masih berusia dua puluh tahun itu tidak mau.
Dia dan ibunya bermaksud pulang ke tanah Jawa berdakwah di Jawa Barat.
Kedudukan ayahnya itu kemudian diberikan kepada adiknya yaitu Syarif
Nurullah.
Sewaktu berada di negeri Mesir, Syarif Hidayatullah berguru kepada
beberapa ulama besar didaratan Timur Tengah. Dalam usia muda itu
ilmunya sudah sangat banyak, maka ketika pulang ke tanah leluhurnya
yaitu Jawa, ia tidak merasa kesulitan melakukan dakwah.
2. Perjuangan Sunan Gunung Jati
Sering kali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif
Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunung Jati. Orang menganggap
Fatahillah dan Syarif Hidayatullah adalah satu, tetapi yang benar
adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah
seorang penyebar agama Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan
Gunungjati.
Sedang Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang dikirim Sultan
Trenggana membantu Sunan Gunungjati berperang melawan penjajah Portugis.
Bukti bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunungjati adalah makam dekat Sultan
Gunungjati yang ada tulisan Tubagus Pasai Fathullah atau Fatahillah
atau Faletehan menurut lidah orang Portugis. Syarif Hidayatullah dan
ibunya Syarifah Muda’im datang di negeri Caruban Larang Jawa Barat pada
tahun 1475 sesudah mampir dahulu di Gujarat dan Pasai untuk menambah
pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira oleh Pangeran Cakrabuana
dan keluarganya. Syekh Datuk Kahfi sudah wafat, guru Pangeran
Cakrabuana dan Syarifah Muda’im itu dimakamkan di Pasambangan. Dengan
alasan agar selalu dekat dengan makam gurunya, Syarifah Muda’im minta
agar diijinkan tinggal di Pasambangan atau Gunungjati.
Syarifah Muda’im dan putranya yaitu Syarif Hidayatullah meneruskan
usaha Syekh Datuk Kahfi membuka Pesantren Gunungjati. Sehingga kemudian
dari Syarif Hidayatullah lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunungjati.
Tibalah saat yang ditentukan, Pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya
yaitu Nyi Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada
tahun 1479, karena usianya sudah lanjut Pangeran Cakrabuana menyerahkan
kekuasaan Negeri Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar
Susuhunan artinya orang yang dijunjung tinggi. Disebutkan, pada tahun
pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran
untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak
masuk Islam kembali tapi tidak mau. Mesti Prabu Siliwangi tidak mau
masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di
wilayah Pajajaran. Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanan
ke Serang. Penduduk Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan
banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat yang sering singgah ke tempat
itu.
Kedatangan Syarif Hidayatullah disambut baik oleh adipati Banten.
Bahkan Syarif Hidayatullah dijodohkan dengan putri Adipati Banten yang
bernama Nyi Kawungten. Dari perkawinan inilah kemudian Syarif
Hidayatullah di karuniai orang putra
yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingking. Dalam menyebarkan
agama islam di Tanah Jawa, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati
tidak bekerja sendirian, beliau sering ikut bermusyawarah dengan
anggota wali lainnya di Masjid Demak. Bahkan disebutkan beliau juga
membantu berdrinya Masjid Demak. Dari pergaulannya dengan Sultan Demak
dan para Wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah mendirikan
Kesultanan Pakungwati dan ia memproklamirkan diri sebagai Raja yang
pertama dengan gelar Sultan.
Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti
kepada Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh.
Tindakan ini dianggap sebagai pembangkangan oleh Raja Pajajaran. Raja
Pajajaran tak peduli siapa yang berdiri di balik Kesultanan Cirebon itu
maka dikirimkannya pasukan prajurit pilihan yang dipimpin oleh Ki
Jagabaya. Tugas mereka adalah menangkap Syarif Hidayatullah yang
dianggap lancang mengangkat diri sebagai raja tandingan Pajajaran. Tapi
usaha ini tidak berhasil, Ki Jagabaya dan anak buahnya malah tidak
kembali ke Pajajaran, mereka masuk Islam dan menjadi pengikut Syarif
Hidayayullah.
Dengan bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin
bertambah besarlah pengaruh Kesultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain
seperti : Surantaka, Japura, Wana Giri, Telaga dan lain-lain menyatakan
diri menjadi wilayah Kasultanan Cirebon. Lebih-lebih dengan
diperluasnya Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah besarlah pengaruh
Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang besar dari negeri asing datang
menjalin persahabatan. Diantaranya dari negeri Tiongkok. Salah seorang
keluarga istana Cirebon kawin dengan Pembesar dari negeri Cina yang
berkunjung ke Cirebon yaitu Ma Huan. Maka jalinan antara Cirebon dan
negeri Cina makin erat.
Bahkan Sunan Gunungjati pernah diundang ke negeri Cina dan kawin dengan
putri Kaisar Cina yang bernama Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang pada
saat itu dari dinasti Ming juga beragama Islam. Dengan perkawinan itu
sang Kaisar ingin menjalin erat hubungan baik antara Cirebon dan negeri
Cina, hal ini ternyata menguntungkan bangsa Cina untuk dimanfaatkan
dalam dunia perdagangan.
Sesudah kawin dengan Sunan Gunungjati, Putri Ong Tien di ganti namanya
menjadi Nyi Ratu Rara Semanding. Kaisar ayah Putri Ong Tien ini
membekali putranya dengan harta benda yang tidak sedikit, sebagian
besar barang-barang peninggalan putri Ong Tien yang dibawa dari negeri
Cina itu sampai sekarang masih ada dan tersimpan di tempat yang aman.
Istana dan Masjid Cirebon kemudian dihiasi dan diperluas lagi dengan
motif-motif hiasan dinding dari negeri Cina. Masjid Agung Sang
Ciptarasa dibangun pada tahun 1480 atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati
atau istri Sunan Gunungjati. Dari pembangunan masjid itu melibatkan
banyak pihak, diantaranya Wali Songo dan sejumlah tenaga ahli yang
dikirim oleh Raden Patah. Dalam pembangunan itu Sunan Kalijaga mendapat
penghormatan untuk mendirikan Soko Tatal sebagai lambang persatuan
ummat.
Selesai membangun masjid, diserukan dengan membangun jalan-jalan raya
yang menghubungkan Cirebon dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk
memperluas pengembangan Islam di seluruh Tanah Pasundan. Prabu
Siliwangi hanya bisa menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon
yang semakin luas itu. Bahkan wilayah Pajajaran sendiri sudah semakin
terhimpit.
Pada tahun 1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya
mereka ingin meluaskan kekuasaan ke Pulau Jawa. Pelabuhan Sunda Kelapa
yang jadi incaran mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak
Bintoro tahu bahaya besar yang mengancam kepulauan Nusantara. Oleh
karena itu Raden Patah mengirim Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor
untuk menyerang Portugis di Malaka. Tapi usaha itu tak membuahkan
hasil, persenjataan Portugis terlalu lengkap, dan mereka terlanjur
mendirikan benteng yang kuat di Malaka.
Ketika Adipati Unus kembali ke Jawa, seorang pejuang dari Pasai
(Malaka) bernama Fatahillah ikut berlayar ke Pulau Jawa. Pasai sudah
tidak aman lagi bagi mubaligh seperti Fatahillah karena itu beliau
ingin menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa.
Raden Patah wafat pada tahun 1518, berkedudukannya digantikan oleh
Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor, baru saja beliau dinobatkan
muncullah pemberontakanpemberontakan dari daerah pedalaman, didalam
usaha memadamkan pemberontakan itu Pangeran Sabrang Lor meninggal
dunia, gugur sebagai pejuang sahid. Pada tahun 1521 Sultan Demak di
pegang oleh Raden Trenggana putra Raden Patah yang ketiga. Di dalam
pemerintahan Sultan Trenggana inilah Fatahillah diangkat sebagai
Panglima Perang yang akan ditugaskan mengusir Portugis di Sunda Kelapa.
Fatahillah yang pernah berpengalaman melawan Portugis di Malaka
sekarang harus mengangkat senjata lagi. Dari Demak mula-mula pasukan
yang dipimpinnya menuju Cirebon. Pasukan gabungan Demak Cirebon itu
kemudian menuju Sunda Kelapa yang sudah dijarah Portugis atas bantuan
Pajajaran.
Mengapa Pajajaran membantu Portugis ? Karena Pajajaran merasa iri dan
dendam pada perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas, ketika
Portugis menjanjikan bersedia membantu merebut wilayah Pajajaran yang
dikuasai Cirebon maka Raja Pajajaran menyetujuinya.
Mengapa Pasukan gabungan Demak-Cirebon itu tidak dipimpin oleh Sunan
Gunungjati ? Karena Sunan Gunungjati tahu dia harus berperang melawan
kakeknya sendiri, maka diperintahkannya Fatahillah memimpin serbuan
itu. Pengalaman adalah guru yang terbaik, dari pengalamannya bertempur
di Malaka, tahulah Fatahillah titik-titik lemah tentara dan siasat
Portugis. Itu sebabnya dia dapat memberi komando dengan tepat dan
setiap serangan Demak-Cirebon selalu membawa hasil gemilang.
Akhirnya Portugis dan Pajajaran kalah, Portugis kembali ke Malaka,
sedangkan Pajajaran cerai berai tak menentu arahnya. Selanjutnya
Fatahillah ditugaskan mengamankan Banten dari gangguan para pemberontak
yaitu sisa-sisa pasukan Pajajaran. Usaha ini tidak menemui kesulitan
karena Fatahillah dibantu putra Sunan Gunungjati yang bernama Pangeran
Sebakingking. Di kemudian hari Pangeran Sebakingking ini menjadi
penguasa Banten dengan gelar Pangeran Hasanuddin.
Fatahillah kemudian diangkat segenap Adipati di Sunda Kelapa. Dan
merubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, karena Sunan Gunungjati
selaku Sultan Cirebon telah memanggilnya untuk meluaskan daerah Cirebon
agar Islam lebih merata di Jawa Barat. Berturut-turut Fatahillah dapat
menaklukkan daerah TALAGA sebuah negara kecil yang dikuasai raja Budha
bernama Prabu Pacukuman. Kemudian kerajaan Galuh yang hendak meneruskan
kebesaran Pajajaran lama. Raja Galuh ini bernama Prabu Cakraningrat
dengan senopatinya yang terkenal yaitu Aria Kiban. Tapi Galuh tak dapat
membendung kekuatan Cirebon, akhirnya raja dan senopatinya tewas dalam
peperangan itu.
Kemenangan demi kemenangan berhasil diraih Fatahillah. Akhirnya Sunan
Gunungjati memanggil ulama dari Pasai itu ke Cirebon. Sunan Gunungjati
menjodohkan Fatahillah dengan Ratu Wulung Ayu. Sementara kedudukan
Fatahillah selaku Adipati Jayakarta kemudian diserahkan kepada Ki Bagus
Angke. Ketika usia Sunan Gunungjati sudah semakin tua, beliau
mengangkat putranya yaitu Pangeran Muhammad Arifin sebagai Sultan
Cirebon ke dua dengan gelar Pangeran Pasara Pasarean. Fatahillah yang
di Cirebon sering disebut Tubagus atau Kyai Bagus Pasai diangkat
menjadi penasehat sang Sultan.
Sunan Gunungjati lebih memusatkan diri pada penyiaran dakwah Islam di
Gunungjati atau Pesantren Pasambangan. Namun lima tahun sejak
pengangkatannya mendadak Pangeran Muhammad Arifin meninggal dunia
mendahului ayahandanya. Kedudukan Sultan kemudian diberikan kepada
Pangeran Sebakingking yang bergelar sultan Maulana Hasanuddin, dengan
kedudukannya di Banten. Sedang Cirebon walaupun masih tetap digunakan
sebagai kesultanan tapi Sultannya hanya bergelar Adipati. Yaitu Adipati
Carbon I. Adpati Carbon I ini adalah menantu Fatahillah yang diangkat
sebagai Sultan Cirebon oleh Sunan Gunungjati.
Adapun nama aslinya Adipati Carbon adalah Aria Kamuning.
Sunan Gunungjati wafat pada tahun 1568, dalam usia 120 tahun. Bersama
ibunya, dan pangeran Carkrabuasa beliau dimakamkan di gunung Sembung.
Dua tahun kemudian wafat pula Kyai Bagus Pasai, Fatahillah dimakamkan
ditempat yang sama, makam kedua tokoh itu berdampingan, tanpa
diperantarai apapun juga.
Tampilkan postingan dengan label Wali 9. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Wali 9. Tampilkan semua postingan
Beliau adalah putera Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama
aslinya Raden Umar Said. Seperti ayahnya, dalam berdakwah beliau menggunakan
cara halus, ibarat mengambil ikan tidak sampai mengeruhkan airnya. Itulah cara
yang ditempuh untuk menyiarkan agama Islam di sekitar Gunung Muria.
Tempat tinggal beliau di gunung Muria yang salah satu puncaknya bernama Colo. Letaknya disebelah utara kota Kudus. Sasaran dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata. Beliau lah satu-satu wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah untuk menyampaikan Islam. Dan beliau pula yang menciptakan tembang Sinom dan Kinanti.
2. Sakti Mandraguna
Bahwa Sunan Muria itu adalah wali yang sakti, kuat
fisiknya dapat dibuktikan dengan letak padepokannya yang terletak di atas
gunung. Menuju ke makam Sunan Muria pun perlu tenaga ekstra karena berada
diatas bukit yang tinggi.
Bayangkanlah, jika sunan Muria dan isterinya atau
dengan muridnya setiap hari harus naik turun guna menyebarkan agama Islam
kepada penduduk setempat, atau berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta
para pedagang. Hal itu tidak dapat dilakukannya tanpa adanya fisik yang kuat.
Soalnya menunggang kuda tidak mungkin dapat dilakukan untuk mencapai tempat
tinggal Sunan Muria. Harus dengan jalan kaki. Itu berarti Sunan Muria memiliki
kesaktian yang tinggi, demikian pula dengan murid-muridnya.
Bukti bahwa Sunan Muria adalah guru yang sakti
mandraguna dapat ditemukan dalam kisah perkawinan dengan Dewi Roroyono. Dewi
Roroyono adalah puteri Sunan Ngerang, yaitu seorang ulama yang disegani
masyarakat karena ketinggian ilmunya, tempat tinggalnya di Juana.
Demikian saktinya Sunan Ngerang ini sehingga Sunan
Muria dan Sunan Kudus
sampai-sampai berguru kepada beliau.
Pada suatu hari Sunan Ngerang mengadakan syukuran atas
usia Dewi Roroyono yang genap 20 tahun. Murid-muridnya diundang semua. Seperti
: Sunan Muria, Sunan Kudus, Adipati Pathak Warak, Kapa
dan Adiknya Gentiri. Tetangga dekat jua diundang, demikian pula snak kadang
yang dari jauh.
Setelah tamu berkumpul Dewi Roroyono dan adiknya Dewi
Roro Pujiwati keluar menghidangkan makanan dan minuman. Keduanya adalah
dara-dara yang cantik jelita. Terutama Dewi Roroyono yang telah berusia 20
tahun, bagaikan bunga yang sedang mekar-mekarnya.
Bagi Sunan Kudus dan Sunan Muria yang sudah
berbekal ilmu agama dapat menahan pandangan matanya sehingga tidak terseret
oleh godaan setan. Tapi seorang murid Sunan Ngerang yang lain yaitu Adipati
Pathak Warak memandang Dewi Roroyono dengan mata tidak berkedip melihat kecantikan
gadis itu.
Sewaktu menjadi cantrik atau murid Sunan Ngerang,
yaitu ketika Pthak Warak belum menjadi seorang Adipati, Roroyono masih kecil,
belum nampak benar kecantikannya yang mempesona, sekarang gadis itu benar-benar
membuat Adipati Pathak Warak tergila-gila. Sepasang matanya hampir melotot
memandangi gadis itu terus menerus.
Karena dibakar api asmara yang menggelora, Pathak
Warak tidak tahan lagi. Dia menggoda Roroyono dengan ucapan-ucapan yang tidak
pantas. Lebih-lebih setelah lelaki itu bertindak kurang ajar.
Tentu saja Roroyono merasa malu sekali, lebih-lebih
ketiak lelaki itu berlaku kurang ajar dengan memegangi bagian-bagian tubuhnya
yang tak pantas disentuh. Si gadis naik pitam, nampan berisi minuman yang
dibawanya sengaja ditumpahkan ke pakaian sang adipati.
Pathak Warak menyumpah-nyumpah, hatinya marah sekali
diperlakukan seperti itu. Apalagi dilihatnya para tamu undangan menertawakan
kekonyolan itu, diapun semakin malu. Hampir saja Roroyono ditamparnya kalau
tidak ingat bahwa gadis itu adalah puteri gurunya.
Roroyono masuk kedalam kamarnya, gadis itu menangis
sejadi-jadinya karena dipermalukan oleh Pathak Warak.
Malam hari tamu-tamu dari dekat sudah pulang
ketempatnya masing-masing. Tamu dari jauh terpaksa menginap di rumah Sunan
Ngerang, termasuk Pathak Warak dan Sunan Muria. Namun hingga lewat tengah malam
Pathak Warak belum dapat memejamkan matanya.
Pathak Warak kemudian bangkit dari tidurnya.
Mengendap-ngendap ke kamar Roroyono. Gadis itu diserepnya sehingga tidak
sadarkan diri, kemudian melalui genteng Pathak Warak masuk dan membawa lari
gadis itu melalui jendela. Dewi Roroyono dibaw alari ke Mandalika,
wilayah Keling atau Kediri.
Setelah Sunan Ngerang mengetahui bahwa puterinya diculik
oleh Pathak Warak, maka beliau berikrar siapa saja yang berhasil membawa
puterinya kembali ke ngerang akan dijodohkan dengan puterinya itu dan bila
perempuan akan dijadikan saudara Dewi Roroyono. Tak ada yang menyatakan
kesanggupannya. Karena semua orang telah maklum akan kehebatan dan kekejaman
Pathak Warak. Hanya Sunan Muria yang bersedia memnuhi harapan Sunan Ngerang.
Saya akan berusaha mengambil Diajeng Dewi Roroyono
dari tangan Pathak Warak, kata Sunan Muria.
Tetapi ditengah perjalan Sunan Muria bertemu dengan
Kapa dan Gentiri, adik seperguruan yang lebih dulu pulang sebelum acara
syukuran berakhir. Kedua orang itu merasa heran melihat Sunan Muria berlari
cepat menuju arah daerah Keling.
Mengapa kakang tampak tergesa-gesa? Tanya Kapa. Sunan
Muria lalu menceritakan penculikan Dewi Roroyono yang dilakukan oleh Pathak
Warak.
Kapa dan Gentiri sangat menghormati Sunan Muria
sebagai saudara seperguruan yang lebih tua. Keduanya lantas menyatakan diri
untuk membantu Sunan Muria merebut kembali Dewi Roroyono.
Kakang sebaiknya pulang ke Padepokan Gunung Muria.
Murid-murid kakang sangat membutuhkan bimbingan. Biarlah kami berusaha merebut
diajeng Dewi Roroyono kembali. Kalau berhasil kakang tetap berhak mengawininya,
kami hanya sekedar membantu, kata kapa.
Aku masih sanggup untuk merebutnya sendiri, ujar Sunan
Muria.
Itu benar, tapi membimbing orang memperdalam agama
Islam lebih penting, percayalah pada kami. Kami pasti sanggup merebutnya
kembali, kata kapa ngotot.
Sunan Muria akhirnya meluluskan permintaan adik
seperguruannya itu. Rasanya tidak enak menolak seseorang yang hendak berbuat
baik. Lagi pula ia harus menengok para santrinya di padepokan Gunung Muria.
Untuk merebut Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak,
Kapa dan Gentiri ternyata minta bantuan seorang Wiku Lodhang Datuk di pulau
Sprapat yang dikenal sebagai tokoh sakti yang jarang tandingannya. Usaha itu
berhasil. Dewi Roroyono dikembalikan ke Ngerang.
Hari berikutnya Sunan Muria hendak ke Ngerang. Ingin
mengetahui perkembangan usaha Kapa dan Gentiri. Ditengah jalan beliau bertemu
dengan Adipati Pathak Warak.
Hai Pathak Warak berhenti kau, bentak Sunan Muria.
Pathak Warak yang sedang naik kuda terpaksa berhenti
karena Sunan Muria menghadang didepannya.
Minggir!! Jangan menghalangi Jalanku, hardik Pathak
Warak.
Boleh, asal kau kembalikan Dewi Roroyono !
Goblok!! Dewi Roroyono sudah dibawa Kapa dan Gentiri!!
Kini aku hendak mengejar mereka!! Umpat Pathak Warak.
Untuk apa kau mengejar mereka?
Merebutnya kembali! Jawab Pathak Warak dengan sengit.
Kalau begitu langkahi dulu mayatku, Dewi Roroyono
telah dijodohkan denganku, ujar Sunan Muria sambil pasang kuda-kuda.
Tanpa basa basi Pathak Warak melompat dari punggung
kuda. Dia merangkak ke arah Sunan Muria dengan jurus-jurus cakar harimau. Tapi
dia bukan tandingan putera Sunan Kalijaga yang memiliki segudang
kesaktian.
Hanya dalam beberapa kali gebrakan, Pathak Warak telah
jatuh atau roboh di tanah dalam keadaan fatal. Seluruh kesaktiannya lenyap dan
ia menjadi lumpuh, tak mampu untuk bangkit berdiri apalagi berjalan.
Sunan Muria kemudian meneruskan perjalanan ke Juana.
Kedatangannya disambut gembira oleh Sunan Ngerang. Karena Kapa dan entiri telah
bercerita jujur bahwa mereka sendirilah yang memaksa mengambil alih tugas Sunan
Muria mencari Dewi Roroyono, maka Sunan Ngerang pada akhirnya menjodohkan Dewi
Roroyono dengan Sunan Muria. Upacara pernikahan pun segera dilaksanakan.
Kapa dan Gentiri yang berjasa besar itu diberi hadiah
tanah di desa Buntar. Dengan hadiah itu keduanya sudah menjadi orang kaya yang
hidupnya serba berkecukupan.
Sedang Sunan Muria memboyong isterinya ke Padepokan
Gunung Muria. Mereka hidup Bahagia, karena merupakan pasangan yang ideal.
Tidak demikian halnya dengan Kapa dan Gentiri. Sewaktu
membawa Dewi Roroyono dari keling ke Ngerang agaknya mereka terlanjur terpesona
oleh kecantikan wanita jelita itu. Siang malam mereka tidak bisa tidur. Wajah
wanita itu senantiasa terbayang. Namun karena wanita itu sudah diperisteri
kakak seperguruannya mereka tak dapat berbuat apa-apa lagi. Hanya penyesalan
yang menghujam didada. Mengapa mereka dulu terburu-buru menawarkan jasa
baiknya. Betapa enaknya Sunan Muria, tanpa bersusah payah sekarang menikmati
kebahagiaan bersama gadis yang mereka dambakan. Inilah hikmah ajaran agama agar
lelaki diharuskan menahan pandangan matanya dan menjaga kehotmatan (kemaluan)
mereka.
Andaikata Kapa dan Gentiri tidak memandang terus
menerus kearah wajah dan tubuh Dewi Roroyono yang indah itu pasti mereka tidak
akan terpesona dan tidak terjerat oleh iblis yang memasang perangkap pada
pandangan mereka.
Kini Kapa dan Gentiri benar-benar telah dirasuki
iblis. Mereka bertekad hendak merebut Dewi Roroyono dari tangan Sunan Muria.
Mereka telah sepakat untuk menjadikan wanita itu sebagai isteri bersama secara
bergiliran. Sungguh keji rencana mereka.
Gentiri berangkat lebih dahulu ke Gunung Muria. Namun
ketika ia hendak melaksanakan niatnya dipergoki oleh murid Sunan Muria,
terjadilah pertempuran dahsyat. Apalagi ketika Sunan Muria keluar menghadapi
Gentiri, suasana menjadi semakin panas. Akhirnya gentiri tewas menemui ajalnya
di puncak Gunung Muria.
Kematian Gentiri cepat tersebar ke berbagai daerah.
Tapi tidak membuat surut niat Kapa. Kapa cukup cerdik. Dia datang ke gunung
Muria secara diam-diam dimalam hari. Tak seorangpun yang mengetahuinya.
Kebetulan pada saat itu Sunan Muria dan beberapa murid
pilihannya sedang bepergian ke Demak Bintoro. Kapa menyerep murid-murid Sunan
Muria yang berilmu rendah, yang ditugaskan menjaga Dewi Roroyono. Kemudian yang
dengan mudahnya Kapa menculik dan membawa wanita impiannya itu ke pulau
sprapat.
Pada saat yang sama, sepulangnya dari Demak Bintoro.
Sunan Muria bermaksud mengadakan kunjungan kepada Wiku Lodhang Datuk di pulau
Sprapat. Ini biasanya dilakukannya bersahabat dengan pemeluk agama lain
bukanlah suatu dosa. Terlebih sang Wiku itu pernah meneolongnya merebut Dewi
Roroyono dari Pathak Warak.
Seperti ajaran Sunan Kalijaga yang mampu hidup
berdampingan dengan pemeluk agama lain dalam suatu negeri. Lalu ditunjukkan
akhlak Islam yang mulia dan agung. Bukannya berdebat tentang perbedaan agama
itu sendiri. Dengan menerapkan ajaran-ajaran akhlak yang mulia itu nyatanya
banyak pemeluk agama lain yang pada akhirnya tertarik dan masuk Islam secara
sukarela.
Ternyata, kedatangan Kapa ke pulau Sparapat itu tidak
disambut baik oleh Wiku Lodhang Datuk.
Memalukan! Benar-benar nista perbuatanmu itu! Cepat
kembalikan isteri kakang seperguruanmu sendiri itu! Hardik Wiku Lodhang Datuk
dengan marah.
Bapa Guru ini bagaiman, bukakah aku ini muridmu?
Mengapa tidak kau bela? Protes Kapa.
Sampai matipun aku takkan sudi membela kebejatan budi
pekerti walau pelakunya itu muridku sendiri !
Perdebatan antara guru dengan murid itu berlangsung lama.
Tanpa mereka sadari Sunan Muria sudah sampai ditempat itu. Betapa terkejutnya
Sunan Muria melihat isterinya sedang tergolek ditanah dalam keadaan terikat
kaki dan tangannya. Sementara Kapa dilihatnya sedang adu mulut dengan gurunya
yaitu Wiku Lodhang Datuk.
Begitu mengetahui kedatangan Sunan Muria, Kapa
Langsung melancarkan serangan dengan jurus-jurus maut. Wiku Lodhang Datuk
menjauh, melangkah menuju Dewi Roroyono untuk membebaskan belenggu yang
dilakukan Kapa.
Bersamaan dengan selesainya sang Wiku membuka tali
yang mengikat tubuh Dewi Roroyono. Tiba-tiba terdengar jeritan keras dari mulut
Kapa.
Ternyata serangan dengan pengerahan aji kesaktian yang
dilakukan Kapa berbalik menghantam dirinya sendiri. Itulah ilmu yang dimiliki
Sunan Muria. Mampu membalikkan serangan lawan.
Karena Kapa menggunakan aji pamungkas yaitu puncak
kesaktian yang dimilikinya maka ilmu itu akhirnya merenggut nyawanya sendiri.
Maafkan saya tuan Wiku….,ujar Sunan Muria agak
menyesal. Tidak mengapa. Menyesal aku turut memberikan ilmu kepadanya. Ternyata
ilmu itu digunakan untuk jalan kejahatan, gumam Sang Wiku.
Bagaimanapun Kapa adalah muridnya, pantaslah kalau dia
menguburkannya secara layak.
Pada akhirnya Dewi Roroyono dan Sunan Muria kembali ke
Padepokan dan hidup bahagia.
Sunan
Kalijaga adalah ulama yang namanya paling banyak disebut masyarakat
Jawa. Beliau adalah legenda nyata dari tumbuh dan berkembangnya Islam
di Pulau Jawa. Sayangnya, namanya sering dikaitkan dengan mistisme Jawa
alias Kejawen. Benarkan ‘Kejawenisme’ merupakan buah pemikiran Sunan
Kalijaga? Siapakah Sunan Kalijaga? Dari mana nama ‘Kalijaga’ berasal?
Mari kita bangun perspektif yang benar tentang sosok ini.
Ada
beragam versi tentang nama asli Kalijaga. Sejumlah sumber mengatakan
bahwa nama asli Sunan Kalijaga ialah ‘Lokajaya’. Sumber lain ada yang
menyebut bahwa nama aslinya ‘Raden Abdurrahman’ atau ada juga yang
mengatakan bahwa namanya ialah ‘Raden Joko Said’ atau ‘Raden Jaka
Syahid’. Pendapat yang terakhir merupakan riwayat yang paling mashyur.
Nama Raden Joko Said ialah nama yang dikenal secara turun-temurun oleh
para penduduk Tuban hingga masa kini.
Joko
Said dilahirkan sekitar tahun 1450 M. Ayahnya adalah Arya Wilatikta,
Adipati Tuban. Arya Wilatikta ini adalah keturunan dari pemberontak
legendaris Majapahit, Ronggolawe. Riwayat masyhur mengatakan bahwa
Adipati Arya Wilatikta sudah memeluk Islam sejak sebelum lahirnya Joko
Said. Namun sebagai Muslim, ia dikenal kejam dan sangat taklid kepada
pemerintahan pusat Majapahit yang menganut Agama Hindu. Ia menetapkan
pajak tinggi kepada rakyat.
Joko
Said muda yang tidak setuju pada segala kebijakan Ayahnya sebagai
Adipati sering membangkang pada kebijakan-kebijakan ayahnya.
Pembangkangan Joko Said kepada ayahnya mencapai puncaknya saat ia
membongkar lumbung kadipaten dan membagi-bagikan padi dari dalam
lumbung kepada rakyat Tuban yang saat itu dalam keadaan kelaparan
akibat kemarau panjang.
Karena
tindakannya itu, Ayahnya kemudian ‘menggelar sidang’ untuk mengadili
Joko Said dan menanyakan alasan perbuatannya. Kesempatan itu tidak
disia-siakan oleh Joko Said untuk mengatakan pada ayahnya bahwa, karena
alasan ajaran agama, ia sangat menentang kebijakan ayahnya untuk
menumpuk makanan di dalam lumbung sementara rakyatnya hidup dalam
kemiskinan dan kelaparan. Ayahnya tidak dapat menerima alasannya ini
karena menganggap Joko Said ingin mengguruinya dalam masalah agama.
Karena itu, Ayahnya kemudian mengusirnya keluar dari istana kadipaten
seraya mengatakan bahwa ia baru boleh pulang jika sudah mampu
menggetarkan seisi Tuban dengan bacaan ayat-ayat suci Al Qur’an. Maksud
dari ‘menggetarkan seisi Tuban’ di sini ialah bilamana ia sudah
memiliki banyak ilmu agama dan dikenal luas masyarakat karena ilmunya.
Riwayat
masyhur kemudian menceritakan bahwa setelah diusir dari istana
kadipaten, Joko Said berubah menjadi seorang perampok yang terkenal dan
ditakuti di kawasan Jawa Timur. Sebagai Perampok, Joko Said selalu
‘memilih’ korbannya dengan seksama. Ia hanya merampok orang kaya yang
tak mau mengeluarkan zakat dan sedekah. Dari hasil rampokannya itu,
sebagian besarnya selalu ia bagi-bagikan kepada orang miskin. Kisah ini
mungkin mirip dengan cerita Robin Hood di Inggris. Namun itulah riwayat
masyhur tentang beliau. Diperkirakan saat menjadi perampok inilah, ia
diberi gelar ‘Lokajaya’ artinya kurang lebih ‘Perampok Budiman’.
Semuanya
berubah saat Lokajaya alias Joko Said bertemu dengan seorang ulama
beken, Syekh Maulana Makhdum Ibrahim alias Sunan Bonang. Sunan Bonang
inilah yang kemudian mernyadarkannya bahwa perbuatan baik tak dapat
diawali dengan perbuatan buruk –sesuatu yang haq tak dapat
dicampuradukkan dengan sesuatu yang batil- sehingga Joko Said alias
Lokajaya bertobat dan berhenti menjadi perampok. Joko Said kemudian
berguru kepada Sunan Bonang hingga akhirnya dikenal sebagai ulama
dengan gelar ‘Sunan Kalijaga’.
Dari mana nama ‘Kalijaga’ muncul?
Pertanyaan
ini masih menjadi misteri dan bahan silang pendapat di antara para
pakar sejarah hingga hari ini. Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa
nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang
pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati.
Ini dihubungkan dengan kebiasaan wong Cerbon untuk menggelari seseorang
dengan daerah asalnya –seperti gelar Sunan Gunung Jati untuk Syekh
Syarif Hidayatullah, karena beliau tinggal di kaki Gunung Jati.
Fakta
menunjukan bahwa ternyata tidak ada ‘kali’ di sekitar dusun Kalijaga
sebagai ciri khas dusun itu. Padahal, tempat-tempat di Jawa umumnya
dinamai dengan sesuatu yang menjadi ciri khas tempat itu. Misalnya nama
Cirebon yang disebabkan banyaknya rebon (udang), atau nama Pekalongan
karena banyaknya kalong (Kelelawar). Logikanya, nama ‘Dusun Kalijaga’
itu justru muncul setelah Sunan Kalijaga sendiri tinggal di dusun itu.
Karena itu, klaim Masyarakat Cirebon ini kurang dapat diterima.
Riwayat
lain datang dari kalangan Jawa Mistik (Kejawen). Mereka mengaitkan nama
ini dengan kesukaan wali ini berendam di sungai (kali) sehingga nampak
seperti orang yang sedang “jaga kali”. Riwayat Kejawen lainnya menyebut
nama ini muncul karena Joko Said pernah disuruh bertapa di tepi kali
oleh Sunan Bonang selama sepuluh tahun. Pendapat yang terakhir ini yang
paling populer. Pendapat Ini bahkan diangkat dalam film ‘Sunan
Kalijaga’ dan ‘Walisongo’ pada tahun 80-an. Saya sendiri kurang sepaham
dengan kedua pendapat ini.
Secara
sintaksis, dalam tata bahasa-bahasa di Pulau Jawa (Sunda dan Jawa) dan
segala dialeknya, bila ada frase yang menempatkan kata benda di depan
kata kerja, itu berarti bahwa kata benda tersebut berlaku sebagai
subjek yang menjadi pelaku dari kata kerja yang mengikutinya. Sehingga
bila ada frase ‘kali jaga’ atau ‘kali jogo’ berarti ada ‘sebuah kali
yang menjaga sesuatu’. Ini tentu sangat janggal dan tidak masuk akal.
Bila
benar bahwa nama itu diperoleh dari kebiasaan Sang Sunan kungkum di
kali atau karena beliau pernah menjaga sebuah kali selama sepuluh tahun
non-stop (seperti dalam film), maka seharusnya namanya ialah “Sunan
Jogo Kali” atau “Sunan Jaga Kali”.
Kemudian
secara logika, silakan anda pikirkan masak-masak. Mungkinkah seorang
da’i menghabiskan waktu dengan kungkum-kungkum di sungai sepanjang
hari? Tentu saja tidak. Sebagai da’i yang mencintai Islam dan
Syi’ar-nya, tentu ada banyak hal berguna yang dapat beliau lakukan.
Riwayat Kejawen bahwa beliau bertapa selama sepuluh tahun non-stop di
pinggir kali juga merupakan riwayat yang tidak masuk akal. Bagaimana
bisa seorang ulama saleh terus-menerus bertapa tanpa melaksanakan
shalat, puasa, bahkan tanpa makan dan minum? Karena itu, dalam pendapat
saya, kedua riwayat itu ialah riwayat batil dan tidak bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Pendapat
yang paling masuk akal ialah bahwa sebenarnya nama ‘kalijaga’ berasal
dari bahasa Arab “Qadli’ dan nama aslinya sendiri, ‘Joko Said’, jadi
frase asalnya ialah ‘Qadli Joko Said’ (Artinya Hakim Joko Said).
Sejarah mencatat bahwa saat Wilayah (Perwalian) Demak didirikan tahun
1478, beliau diserahi tugas sebagai Qadli (hakim) di Demak oleh Wali
Demak saat itu, Sunan Giri.
Masyarakat
Jawa memiliki riwayat kuat dalam hal ‘penyimpangan’ pelafalan kata-kata
Arab, misalnya istilah Sekaten (dari ‘Syahadatain’), Kalimosodo (dari
‘Kalimah Syahadah’), Mulud (dari Maulid), Suro (dari Syura’),
Dulkangidah (dari Dzulqaidah), dan masih banyak istilah lainnya. Maka
tak aneh bila frase “Qadli Joko” kemudian tersimpangkan menjadi
‘Kalijogo’ atau ‘Kalijaga’.
Posisi
Qadli yang dijabat oleh Kalijaga alias joko Said ialah bukti bahwa
Demak merupakan sebuah kawasan pemerintahan yang menjalankan Syariah
Islam. Ini diperkuat oleh kedudukan Sunan Giri sebagai Wali di Demak.
Istilah ‘Qadli’ dan ‘Wali’ merupakan nama-nama jabatan di dalam Negara
Islam. Dari sini sajasudah jelas, siapa Sunan Kalijaga sebenarnya; ia
adalahseorang Qadli, bukan praktisi Kejawenisme.
Da’wah Sunan Kalijaga adalah Da’wah Islam, Bukan Da’wah Kejawen atau Sufi-Pantheistik
Kita
kembali ke Sunan Kalijaga alias Sunan Qadli Joko. Riwayat masyhur
mengisahkan bahwa masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih
dari 100 tahun. Ini berarti bahwa beliau mengalami masa akhir kekuasaan
Majapahit pada 1478, Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon, Kesultanan
Banten, bahkan hingga Kerajaan Pajang (lahir pada 1546) serta awal
kehadiran Kerajaan Mataram. Bila riwayat ini benar, maka kehidupan
Sunan Kalijaga adalah sebuah masa kehidupan yang panjang.
Manuskrip-manuskrip
dan babad-babad tua ternyata hanya menyebut-nyebut nama beliau hingga
zaman Kesultanan Cirebon saja, yakni hingga saat beliau bermukim di
dusun Kalijaga. Dalam kisah-kisah pendirian Kerajaan Pajang oleh Jaka
Tingkir dan Kerajaan Mataram oleh Panembahan Senopati, namanya tak lagi
disebut-sebut. Logikanya ialah, bila saat itu beliau masih hidup, tentu
beliau akan dilibatkan dalam masalah imamah di Pulau Jawa karena
pengaruhnya yang luas di tengah masyarakat Jawa. Fakta menunjukan bahwa
makamnya berada di Kadilangu, dekat Demak, bukan di Pajang atau di
kawasan Mataram (Yogyakarta dan sekitarnya) –tempat-tempat di mana
Kejawen tumbuh subur. Perkiraan saya, beliau sudah wafat saat Demak
masih berdiri.
Riwayat-riwayat
yang batil banyak menceritakan kisah-kisah aneh tentang Sunan Kalijaga
–selain kisah pertapaan sepuluh tahun di tepi sungai. Beberapa kisah
aneh itu antara lain, bahwa beliau bisa terbang, bisa menurunkan hujan
dengan hentakan kaki, mengurung petir bernama Ki Ageng Selo di dalam
Masjid Demak dan kisah-kisah lain yang bila kita pikirkan dengan akal
sehat nan intelek tidak mungkin bisa masuk ke dalam otak manusia.
Kisah-kisah aneh macam itu hanya bisa dipercaya oleh orang gila yang
gemar sihir.
Ajaran
Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dan berbau Hindu-Budha serta Kejawen.
Padahal fakta tentang kehidupan Sunan Kalijaga adalah Da’wah dan Syi’ar
Islam yang indah. Buktinya sangat banyak sekali. Sunan Kalijaga adalah
perancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak.
Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama
masjid adalah kreasi peninggalan Sunan Kalijaga. Mana mungkin seorang
kejawen ahli mistik mau-maunya mendirikan Masjid yang jelas-jelas
merupakan tempat peribadatan Islam.
Paham
keagamaan Sunan Kalijaga adalah salafi –bukan sufi-panteistik ala
Kejawen yang ber-motto-kan ‘Manunggaling Kawula Gusti’. Ini terbukti
dari sikap tegas beliau yang ikut berada dalam barisan Sunan Giri saat
terjadi sengketa dalam masalah ‘kekafiran’ Syekh Siti Jenar dengan
ajarannya bahwa manusia dan Tuhan bersatu dalam dzat yang sama.
Kesenian
dan kebudayaan hanyalah sarana yang dipilih Sunan Kalijaga dalam
berdakwah. Beliau memang sangat toleran pada budaya lokal. Namun beliau
pun punya sikap tegas dalam masalah akidah. Selama budaya masih
bersifat transitif dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, beliau
menerimanya. Wayang beber kuno ala Jawa yang mencitrakan gambar manusia
secara detail dirubahnya menjadi wayang kulit yang samar dan tidak
terlalu mirip dengan citra manusia, karena pengetahuannya bahwa
menggambar dan mencitrakan sesuatu yang mirip manusia dalam ajaran
Islam adalah haram hukumnya.
Cerita
yang berkembang mengisahkan bahwa beliau sering bepergian keluar-masuk
kampung hanya untuk menggelar pertunjukan wayang kulit dengan beliau
sendiri sebagai dalangnya. Semua yang menyaksikan pertunjukan wayangnya
tidak dimintai bayaran, hanya diminta mengucap dua kalimah syahadat.
Beliau berpendapat bahwa masyarakat harus didekati secara bertahap.
Pertama berislam dulu dengan syahadat selanjutnya berkembang dalam
segi-segi ibadah dan pengetahuan Islamnya. Sunan Kalijaga berkeyakinan
bahwa bila Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama
hilang.
Lakon-lakon
yang dibawakan Sunan Kalijaga dalam pagelaran-pagelarannya bukan
lakon-lakon Hindu macam Mahabharata, Ramayana, dan lainnya. Walau
tokoh-tokoh yang digunakannya sama (Pandawa, Kurawa, dll.) beliau
menggubah sendiri lakon-lakonnya, misalnya Layang Kalimasada, Lakon
Petruk Jadi Raja yang semuanya memiliki ruh Islam yang kuat.
Karakter-karakter wayang yang dibawakannya pun beliau tambah dengan
karakter-karakter baru yang memiliki nafas Islam. Misalnya, karakter
Punakawan yang terdiri atas Semar, Bagong, Petruk, dan Gareng adalah
karakter yang sarat dengan muatan Keislaman.
1. Istilah ‘Dalang’ berasal dari bahasa Arab, ‘Dalla’ yang artinya
menunjukkan. Dalam hal ini, seorang ‘Dalang’ adalah seseorang yang
‘menunjukkan kebenaran kepada para penonton wayang’. Mandalla’alal
Khari Kafa’ilihi (Barangsiapa menunjukan jalan kebenaran atau kebajikan
kepada orang lain, pahalanya sama dengan pelaku kebajikan itu sendiri
–Sahih Bukhari)
2. Karakter ‘Semar’ diambil dari bahasa Arab, ‘Simaar’ yang artinya
Paku. Dalam hal ini, seorang Muslim memiliki pendirian dan iman yang
kokoh bagai paku yang tertancap, Simaaruddunyaa.
3. Karakter ‘Petruk’ diambil dari bahasa Arab, ‘Fat-ruuk’ yang artinya
‘tingggalkan’. Maksudnya, seorang Muslim meninggalkan segala
penyembahan kepada selain Allah, Fatruuk-kuluu man siwallaahi.
4. Karakter ‘Gareng’ diambil dari bahasa Arab, ‘Qariin’ yang artinya
‘teman’. Maksudnya, seorang Muslim selalu berusaha mencari teman
sebanyak-banyaknya untuk diajak ke arah kebaikan, Nalaa Qaarin.
5. Karakter ‘Bagong’ diambil dari bahasa Arab, ‘Baghaa’ yang artinya
‘berontak’. Maksudnya, seorang Muslim selalu berontak saat melihat
kezaliman.
Seni
ukir, wayang, gamelan, baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud,
serta seni suara suluk yang diciptakannya merupakan sarana dakwah
semata, bukan budaya yang perlu ditradisikan hingga berkarat dalam
kalbu dan dinilai sebagai ibadah mahdhah. Beliau memandang semua itu
sebagai metode semata, metode dakwah yang sangat efektif pada zamannya.
Secara filosofis, ini sama dengan da’wah Rasulullah Saw yang
mengandalkan keindahan syair Al Qur’an sebagai metode da’wah yang
efektif dalam menaklukkan hati suku-suku Arab yang gemar berdeklamasi.
Tak
dapat disangkal bahwa kebiasaan keluar-masuk kampung dan memberikan
hiburan gratis pada rakyat, melalui berbagai pertunjukan seni, pun
memiliki nilai filosofi yang sama dengan kegiatan yang biasa dilakukan
Khalifah Umar ibn Khattab ra. yang suka keluar-masuk perkampungan untuk
memantau umat dan memberikan hiburan langsung kepada rakyat yang
membutuhkannya. Persamaan ini memperkuat bukti bahwa Sunan Kalijaga
adalah pemimpin umat yang memiliki karakter, ciri, dan sifat
kepemimpinan yang biasa dimiliki para pemimpin Islam sejati, bukan ahli
Kejawen.
Ada diceritakan, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung halamannya di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang kelak berkembang menjadi legenda.
Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah barat Gresik. Raden Qasim selamat dengan berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, ia ditolong ikan cucut dan ikan talang –ada juga yang menyebut ikan cakalang.
Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim berhasil mendarat di sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati. Menurut tarikh, persitiwa ini terjadi pada sekitar 1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut baik oleh tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar.
Konon, kedua tokoh itu sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga terdampar di sana beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim kemudian menetap di Jelak, dan menikah dengan Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim mendirikan sebuah surau, dan akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk.
Jelak, yang semula cuma dusun kecil dan terpencil, lambat laun berkembang menjadi kampung besar yang ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar. Selang tiga tahun, Raden Qasim pindah ke selatan, sekitar satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang lebih tinggi dan terbebas dari banjir pada musim hujan. Tempat itu dinamai Desa Drajat.
Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat oleh para pengikutnya, masih menganggap tempat itu belum strategis sebagai pusat dakwah Islam. Sunan lantas diberi izin oleh Sultan Demak, penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan baru di daerah perbukitan di selatan. Lahan berupa hutan belantara itu dikenal penduduk sebagai daerah angker.
Menurut sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah akibat pembukaan lahan itu. Mereka meneror penduduk pada malam hari, dan menyebarkan penyakit. Namun, berkat kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasi. Setelah pembukaan lahan rampung, Sunan Drajat bersama para pengikutnya membangun permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektare.
Atas petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat menempati sisi perbukitan selatan, yang kini menjadi kompleks pemakaman, dan dinamai Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh di barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk.
Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522. Di tempat itu kini dibangun sebuah museum tempat menyimpan barang-barang peninggalan Sunan Drajat –termasuk dayung perahu yang dulu pernah menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat tinggal Sunan kini dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.
Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Ia menurunkan kepada para pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik melalui perkataan maupun perbuatan. ”Bapang den simpangi, ana catur mungkur,” demikian petuahnya. Maksudnya: jangan mendengarkan pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu.
Langganan:
Postingan (Atom)